Mantra Kedelapan Belas Bagi Penulis Pemula, Diksi dan Seni Bahasa

 

Judul                : Mantra Kedelapan Belas Bagi Penulis Pemula, Diksi dan Seni Bahasa

Resume Ke      : 18

Gelombang      : 28

Tanggal            : 17 Februari 2023

Tema                : Diksi dan Seni Bahasa

Narasumber     : Maydearly

Moderator        : Widya Arema

 



Setelah punya rumah, apa cita-citamu?

Kecil saja: ingin sampai rumah

saat senja supaya saya dan senja sempat

minum teh bersama di depan jendela.

 

(“Cita-cita”, Joko Pinurbo)

 

Cahaya bulan yang awalnya bersinar terang, kini pelan-pelan  mulai memudar karena tertutup awan. Bintang-bintang yang saling berlomba menampakkan sinarnya pun mulai meredup tertutup mendung. Sepertinya akan turun hujan, tapi ratusan orang masih berdesak-desakan memadati sepanjang jalan alun-alun kota Batu, Malang. Orangtua, anak muda, anak kecil baik laki-laki maupun perempuan bercampur baur. Penjual mainan maupun penjual makanan tak ingin kehilangan kesempatan, mereka pun menjajakan dagangannya di sepanjang jalan.



“Saya sangat lelah,” Agus bergumam dengan lemah bagaikan seekor kura-kura purba di hari libur, sambil memegang secangkir kopi.”Perjalanan dari Mojokerto lewat jalur Pacet ke arah Cangar, Batu lalu sampai ke alun-alun membuat badan ini pegal.”

“Ya, kalau jadi anda pastinya saya juga merasakan hal yang sama, Sobat,” kata Damar.”Tapi ada hal yang harus anda ingat, kita datang ke Café Panderman ini untuk mengikuti kopdar penyair Di Bawah Bukit Panderman. Pastinya ada ilmu yang akan kita dapatkan dalam acara ini.”

Sesaat kemudian, sepasang sinar dari lampu halogen mobil menembus kegelapan malam. Dua orang perempuan berkerudung nan indah turun dari mobil itu. Adalah Bu Widya dan Maydearly yang akan menjadi moderator dan narasumber kopdar malam ini.

“Selamat malam dan selamat datang di kota Batu, Bu Widya dan Bu Maydearly,” ucap David yang menjadi ketua panitia kopdar.

“Selamat malam, Pak David dan juga seluruh peserta kopdar semuanya,” ucap Bu Widya sambil menatap ke arah Pak David yang memakai kaos hitam bertuliskan I Love Batu.

“Saya sangat mensyukuri momen ini, di mana kita semua bisa bersama-sama kopdar untuk saling silaturahmi dan berbagi ilmu. Berhentilah membuang waktu untuk melakukan hal-hal sepele dan gila-gilaan. Buatlah prioritas untuk merebut kembali kreativitas, semangat, dan potensi yang terbengkalai dalam diri Anda. Tanpa berlama-lama, marilah kita sambut narasumber kita, Ibu Maydearly,” ucap moderator membuka acara.

Nararumber yang awalnya duduk di kursi café melingkar beserta peserta kopdar, melangkahkan kakinya ke depan panggung kecil. Iringan live musik yang dinyanyikan penyanyi indie mengiringi langkah kaki narasumber.

“Selamat malam semuanya. Jadi apa yang akan kita lakukan malam ini?” tanya narasumber lembut.” Kebanyakan di zaman sekarang ini kita berharap memiliki lebih banyak waktu. Namun kita selalu membuang-buang waktu. Marilah kita bersama-sama belajar, karena mengabaikan kekuatan tersembunyi dalam diri sama saja dengan menciptakan tempat untuk tumbuhnya rasa sakit karena potensi yang tak terpakai.”

“Baiklah Bapak/ Ibu izinkan saya meminjam waktu dengan jemari yang berlarian  di atas layar kaca. Satu pembelajaran yang memperjelas bahwa kata tanpa estetika ibarat gunung tanpa pohon, ibarat laut tanpa ombak. Dan estetika kata terketak pada diksi dan seni bahasa. Berharap, malam ini menjadi malam yang paling teduh yang kita dapatkan. Ditemani dengan secangkir kopi yang mempertemukan kita di satu meja,” ucap narasumber sambil memandang ke arah seluruh peserta.

Layar projektor yang menyala mulai terbuka, sajian materi pun tersedia di depan mata para peserta. Dalam presentasi itu tertulis pengertian dan penjelasan lainnya tentang diksi.

Pengertian Diksi

Diksi – akar katanya dari bahasa Latin: dictionem. Kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi diction Kata kerja ini berarti: pilihan kata. Maksudnya, pilihan kata untuk menuliskan sesuatu secara ekspresif. Sehingga tulisan tersebut memiliki ruh dan karakter kuat, mampu menggetarkan atau mempermainkan pembacanya.

Pentingnya Penggunaan Diksi dalam Bahasa

Diksi begitu penting dalam kajian sebuah bahasa, karena banyak keindahan atas sebuah kata yang tak tereja oleh bibir. Diksi bak pijar bintang di angkasa yang menunjukan dirinya dengan kilauan, mempesona, dan tidak membosankan.

Cara Menulis Diksi

Dalam menulis diksi, kita bisa melibatkan panca indera.

1. Indera peraba, indra ini dapat digunakan untuk memperinci dengan apik tekstur permukaan benda, atau apapun. Penggunaan indra peraba ini sangat cocok untuk menggambarkan detail suatu permukaan, gesekan, tentang apa yg kita rasakan pada kulit. Contoh: Pada pori-pori angin yang dingin, aku pernah mengeja rindu yang datang tanpa permisi

2. Indera penciuman, yaitu menulis dengan melibatkan indra penciuman. Hal ini akan membuat tulisan kita lebih beraroma. Tehnik ini akan lebih dahsyat jika dipadukan dengan indra penglihatan. Contoh: Di kepalaku wajahmu masih menjadi prasasti, dan aroma badanmu selalu kugantungkan di langit harapan.

3. Indera Perasa, yaitu menulis dengan melibatkan indra perasa. Merasakan setiap energi yang ada di sekitar kita. Penggunaan indra perasa sangat ampuh untuk menggambarkan rasa suatu makanan, atau sesuatu yg tercecap di lidah. Contoh: Kukecup rasa pekat secangkir kopi di tangan kananku, sembari ku genggam Hp tangan  kiriku. Telah terkubur dengan bijaksana, dirimu beserta centang biru, diriku bersama centang satu.

4. Indera penglihatan, yaitu menulis dengan melibatkan indra penglihatan. Buatlah pembaca seolah-olah bisa “melihat” apa yang tengah kita ceritakan. Buat mereka seolah bisa menonton dan membayangkannya.  Prinsip utama dan manjur dalam hal ini adalah DETAIL. Tulislah apa warnanya, bagaimana bentuknya, ukurannya, umurnya, kondisinya. Contoh:Derit daun pintu mencekik udara ditengah keheningan, membuatku tersadar jika kamu hanya sebagai lamunan

5. Indera pendengaran, yaitu menulis dengan melibatkan energi yang kita dengar. Sebuah tulisan yang ditulis dengan indra pendengaran akan terasa lebih berbunyi, lebih bersuara. Selain itu, penulis juga bisa berkreasi dengan membuat hal-hal yang biasanya tak terdengar menjadi terdengar. Contoh: Derum kejahatan yang mendekat terasa begitu kencang. Udara hening, tetapi terasa berat oleh jerit keputusasaan yang dikumandangkan bebatuan, sebuah keputusan yang menghakimiku untuk tak lagi merinduimu.

Si narasumber mengambil gelas kopinya, ia pun meminum kopi tersebut sambil menikmati sajian ketan susu khas Kota Batu. Setelah mengambil napas ia mulai melanjutkan materi berikutnya tentang seni bahasa.

“Untuk materi selanjutnya saya akan menjelaskan tentang gaya atau seni bahasa,” si narasumber melanjutkan.” Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa. Seni bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur, yaitu kejujuran, sopan-santun, dan menarik.”

“Ini pasti sangat menarik,” Damar berbisik pada Agus sambil melahap ketan durian yang dipesannya.” Saya tidak pernah berpikir bahwa dalam berbahasa ada gaya atau seni yang harus kita perhatikan. Bagiku bahasa adalah ucapan komunikasi yang membuat paham pendengar tanpa perlu mempelajari gaya atau seni bahasanya.”

Sesaat kemudian, kunang-kunang di pepohonan terlihat bertengger di ranting pohon  yang ada di teras cafe. Narasumber melanjutkan penjelasannya tentang seni bahasa.

“ Seni bahasa yang mengandung unsur kejujuran, berarti mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Kemudian sopan-santun, dalam berbahasa berarti memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak bicara/pembaca. Lalu yang terakhir adalah unsur seni bahasya yang menarik, dapat dilihat dari komponen variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas), dan penuh daya khayal,” jelas narasumber dengan lembut.

Bu Widya memandang jam tangan yang dikenakannya, ia pun memberikan kode pada narasumber untuk melanjutkan sesi tanya jawab dengan peserta kopdar.

Agus yang sedari tadi menyimak penjelasan Bu Maydearly, memberanikan diri untuk bertanya.

“ Selamat malam, saya Agus ingin bertanya apakah pemilihan diksi harus disesuaikan dengan pembaca atau pendengar?” tanya agus dengan mantap.

“Ketika kita menulis, maka kita adalah seorang subjek yang memberi informasi. Apa yang akan kita tulis itu yang akan dinikmati pembaca. Menulislah untuk didengarkan pembaca, bukan menulis sesuai keinginan pembaca,” jawab Narasumber.

Melihat Agus bertanya, seorang peserta lainnya pun tergerak untuk menanyakan pertanyaan kedua, “Saya Rudi, ingin menanyakan cara mengolah panca indera agar tergali?”

“Panca indera itu melekat dalam jasad kita, kita tak perlu  perintahkan ia untuk memandu hati kita membuat sebuah tulisan yang indah. Tugas kita adalah menerima sinyal dari kelima panca indera tersebut yang kemudian kita bisa jabarkan dalam sebuah tulisan. Ketika kelima indera itu kita libatkan, maka tak ada tulisan yang biasa. Pepatah mengatakan "menulislah dengan hati". Karena hati mampu menerka indera kita dengan baik,” jawab narasumber dengan mantap.

“Terimakasih banyak, Bu Maydearly,” ucap penanya, terlihat sangat lega.

Para peserta kopdar sangat puas akan materi yang disampaikan narasumber. Damar dan Agus pun terlibat dalam percakapan sambil menikmati sisa-sisa kopi dan ketan durian yang ada di depan mejanya.

“Jadi, apakah kau sudah siap memperkaya diksi dan gaya bahasa dalam pembuatan puisi maupun cerpen?” tanya Agus.

“Tepat!” jawab Damar.“ Mimpi menjadi penulis prosa membuat saya memahami bahwa saya tidak dapat menunda lagi untuk membuat karya hebat. Saya tidak dapat menunda untuk meningkatkan kesehatan, kebahagiaan, rasa percaya diri, bahkan kehidupan cinta saya akan prosa.”

“Benarkah?” tanya agus sambil tersenyum.

“Benar,” jawab Damar.

Kemudian mereka pun berjalan menuju parkiran, melihat ke atas langit yang tak jadi menurunkan hujan. Hingga kelap-kelip bintang ditemani sinar rembulan menghiasi indahnya malam di alun-alun Kota Batu yang menawan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer